Malam ini, 20 Oktober 2009 sekitar jam 23.15, aku buka email, eee...ternyata ada satu email yg cukup menarik, entah itu pribadi murni sebagai praktisi lingkungan ataukah salah satu karyawan PT. Jasa Medivest (karena yg menjadi contoh PT. Jasa Medivest), tapi lepas dari itu semua, saya senang karena ada teman kita yg seide mau peduli dg lingkungan terutama lingkungan rs.
Nah, ini email yg ditulis oleh teman kita Sdr. Edwin Widjaja pd Tuesday, 20 October, 2009 09:45
Dear Pak Handoko,
Saya tertarik membaca blog bapak mengenai forum komunikasi sanitarian. Nama saya Edwin Widjaja dan saya juga praktisi lingkungan. Saya merasa kaum sanitarian dan pencinta lingkungan harus mulai menyuarakan adanya pengelolaan limbah rumah sakit yang lebih terpadu. Saya contohkan dengan di Jakarta, dimana Jakarta memiliki beberapa pengolah limbah rumah sakit seperti PT. Jasa Medivest dan PT. Wastec International.
Walaupun pengolahan mereka biasa saja, tetapi langkah yang mereka ambil sudah sangat bagus untuk dimulai di rumah rumah sakit, dimana dengan adanya manajemen limbah padat yang benar maka akan kurang lebih mengurangi penyakit penyakit nosokomial. Ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh kita semua dengan terpadunya sistim pengolahan limbah yakni:
a. Rumah Sakit akan mempunyai ruang lebih untuk jasa pelayanan lainnya (lahan incinerator mereka rubah fungsi menjadi ruang perawatan misalnya atau ruang hijau).
b. Rumah Sakit dapat menganggarkan biaya perawatan ke biaya lainnya
c. Akan mengurangi infeksi nosokomial karena abu pembakaran tidak akan lagi dari incinerator di rumah sakit, melainkan di tempat pihak ketiga.
d. Membantu mengatasi program langit biru untuk mengurangi polusi perkotaan
e. Membantu pemerintah dalam pendataan jumlah limbah rumah sakit, karena seperti contohnya PT. Jasa Medivest mereka menerbitkan manifest kontrol dari pihak KLH yang diberitakan ke KLH setiap tiga bulan.
Bagi kita, pengamat lingkungan ini akan sangat membantu masterplan kita untuk mewujudkan Indonesia menjadi lebih terarah dalam hal penanganan limbah rumah sakit/medis.
Untuk kedepannya, saya juga mendukung adanya suatu sistim audit standar sanitasi, bahkan kalau bisa dibuat sistim penilaian kinerja rumah sakit dengan kriteria mulai dari pelayanan, tipe kamar, bahkan hingga penanganan limbah menjadi suatu standar rating tertentu yang nantinya akan memacu rumah sakit dan saryankes lainnya untuk mengupdate profesionalitas mereka. Sistim tersebut semacam PROPER untuk Industri.
Kalau mau saya bersedia juga untuk duduk bersama-sama.
Hormat Saya
Edwin Widjaja
edwin.widjaja@gmail.com
saling berbagi mengatasi permasalahan sanitasi RS, RSB, BP, Klinik, Puskesmas, dan Lab
Selasa, 20 Oktober 2009
Selasa, 13 Oktober 2009
DPR Sahkan UU PPLH Pebisnis dan Pejabat Bisa Dipidana
Posisi, peran serta wewenang institusi lingkungan hidup kini semakin kuat seiring dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi undang-undang.
Didahului dengan persetujuan secara aklamasi oleh 10 Fraksi DPR-RI, Wakil Ketua DPR-RI, Muhaimin Iskandar yang memimpin Bidang paripurna DPRRI, Selasa 8 September mengetuk palu pengesahan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Rapiudin Amaraung, pada awalnya rancangan UU tersebut terdiri dari 18 bab dan 86 pasal. Tapi akhirnya berubah menjadi 17 bab dan 127 pasal. Sebenarnya, dalam UU-PPLH banyak substansi dari undang-undang lama (UU Nomor 23 Tahun 1997) yang diperkuat. Salah satunya adalah memberikan kewenangan lebih kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Selain itu, juga memperluas cakupan sanksi pidana, tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga pejabat terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 500 Juta.
Sedangkan menurut Juru bicara FPDIP Ben Vincent Djeharu, UU-PPLH telah mencakup secara komprehensif aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. UU ini, kata Vincent Djeharu, dikelola dengan azas tanggung jawab, azas berkelanjutan, azas berkeadilan. Selain itu pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan pemanfaatan ekonomi, budaya yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kearifan lingkungan.
Dijelaskannya, UU-PPLH menjamin penggunaan sumber daya alam secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Selain itu juga memberlakukan upaya preventif dengan cara mendayagunakan dan memaksimalkan instrumen pengawasan dan perizinan. Dengan demikian, kata Vincent, UU-PPLH menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kegiatan pembangunan di sekitar lingkungan. "Bahkan, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen dan konsisten terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi," kata Vincent.
Menyambut pengesahan UU-PPLH, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah menyampaikan terima kasih kepada DPR-RI yang telah berinisiatif membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.
Rachmat Witoelar mengaku, UU No.23/1997 sesungguhnya telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun efektifitas dalam pelaksanaannya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural.
Berbagai kekurangan di UU No. 23/ 1997 itu, kini telah diakomodasi dalam UU-PPLH, seperti kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian ini penting demi menjamin kepastian pembangunan berkelanjutan sebagai dasar serta terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
Penguatan Institusi Lingkungan
Hal mendasar yang membedakan UU-PPLH yang baru disahkan dengan undang-undang sebelumnya tercermin dalam penguatan fungsi, peran dan wewenang institusi lingkungan hidup dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup.
Beberapa aspek yang mendapat penguatan tersebut antara lain fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pengelolaan perijinan, serta kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Penguatan fungsi AMDAL bertujuan mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan. Sedangkan dalam hal perijinan, ditegaskan keharusan adanya "ijin lingkungan" sebagai prasyarat mendapatkan Ijin Usaha/Ijin kegiatan. Bahkan, Ijin Usaha/Ijin Kegiatan yang telah dikantongi pun menjadi batal demi hukum, bila Ijin Lingkungan dicabut.
Penerapan kewajiban ijin Lingkungan merupakan implementasi dari pengakuan akan eksistensi "hak veto lingkungan," di dalam pembangunan.
Penguatan Sistem Hukum
Aspek lain yang juga menonjol dalam UU-PPLH adalah penguatan sistem hukum lingkungan hidup yang memberikan ruang lebih leluasa bagi aparat penegak hukum. Di dalam UUPPLH disebutkan bahwa pejabat pengawas yang berwenang dapat menghentikan pelanggaran seketika di lapangan. Begitu pula Penyidik PNSKLH dapat menangkap dan menahan pelaku pelanggaran/kejahatan lingkungan, serta menyampaikan hasil penyidikan langsung kepada Kejaksaan dengan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.
Penguatan fungsi serta wewenang Penyidik PNS-KLH dalam penegakan hukum lingkungan dengan tegas diuraikan dalam Pasal 95 ayat (2) yang menyatakan:
" Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang:
a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup-,
b) melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c) meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e) melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f) melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h) menghentikan penyidikan;
i) memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual;
j) melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/ atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/ atau
k) menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Tindak tersebut tidak hanya kepada pelaku pelanggaran/kejahatan lingkungan, tapi juga pejabat publik yang memberi ijin lingkungan dan tidak melakukan pengawasan yang menyebabkan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan.
Penguatan wewenang Penyidik PNS-KLH disambut positif oleh berbagai kalangan, karena dinilai dapat jadi solusi terhadap maraknya kasus-kasus lingkungan dewasa ini. Dengan pemberian kewenangan kepada PPNS melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup diharapkan dapat mengatasi kendala yang dihadapi Kementerian Lingkungan Hidup yang selama ini sulit menindak pelaku pidana lingkungan hidup.
Akibatnya selama ini, tidak sedikit pelaku perusak lingkungan hidup yang bisa melenggang bebas karena PPNSKLH tidak memiliki kewenangan. Dengan pemberian wewenang yang semakin luas diharapkan PPNS-KLH bisa efektif bertindak meringkus pelaku pidana lingkungan yang merusak lingkungan hidup di Indonesia.
Kemajuan lain dalam UU-PPLH adalah penerapan sistem hukuman maksimun dan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan. Dengan penerapan sistem hukuman seperti ini, maka peluang lolosnya pelaku kejahatan lingkungan karena vonis "bebas murni" oleh pengadilan dapat dicegah.
Bisnis Ramah Lingkungan
Sehubungan dengan itu, Rachmat Witoelar meningatkan para pelaku bisnis agar lebih peduli lagi pada lingkungan hidup. " Perusahaan yang kegiatan bisnisnya merusak lingkungan dapat di pidana. Selain itu, izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dapat dicabut, dan Ijin Usaha itu jadi batal apabila izin lingkungan dicabut, dan pengawas di lapangan dapat menghentikan aktivitas seketika jika memang terbukti merusak dan mencemari lingkungan," tegas Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR.
Tapi bukan hanya pelaku bisnis, kata Rachmat Witoelar, pejabat nakal yang mudah mengumbar pemberian ijin lingkungan, juga dapat dtindak dan dikenai sanksi hukum.
Pada kesempatan berbeda, Rachmat Witoelar pernah menjelaskan bahwa adanya "Pasal Represif," bagi pelaku pencemaran dan perusak lingkungan hidup untuk menimbulkan efek jera dan untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Upaya ini memang harus dilakukan untuk memberikan jaminan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya sesuai pasal 28 H UUD 1945.
Namun, tentu tidak perlu ditakutkan, sebab yang penting harus berhati-hati dan pejabat publik mesti bertanggung jawab terhadap ijin pemanfaatan sumber daya alam yang dikeluarkan. "Ini, penting karena pemberian ijin tersebut bisa menjadi awal sumber kecurangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," kata Rachmat Witoelar.
Sebagaimana lazimnya, UU PPLH juga masih perlu aturan pelaksanaannya yang terdiri dari 19 Peraturan Pemerintah dan 18 Peraturan Menteri.
sumber : http://www.menlh.go.id/popup.php?cat=17&id=3904
Didahului dengan persetujuan secara aklamasi oleh 10 Fraksi DPR-RI, Wakil Ketua DPR-RI, Muhaimin Iskandar yang memimpin Bidang paripurna DPRRI, Selasa 8 September mengetuk palu pengesahan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Rapiudin Amaraung, pada awalnya rancangan UU tersebut terdiri dari 18 bab dan 86 pasal. Tapi akhirnya berubah menjadi 17 bab dan 127 pasal. Sebenarnya, dalam UU-PPLH banyak substansi dari undang-undang lama (UU Nomor 23 Tahun 1997) yang diperkuat. Salah satunya adalah memberikan kewenangan lebih kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Selain itu, juga memperluas cakupan sanksi pidana, tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga pejabat terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 500 Juta.
Sedangkan menurut Juru bicara FPDIP Ben Vincent Djeharu, UU-PPLH telah mencakup secara komprehensif aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. UU ini, kata Vincent Djeharu, dikelola dengan azas tanggung jawab, azas berkelanjutan, azas berkeadilan. Selain itu pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan pemanfaatan ekonomi, budaya yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kearifan lingkungan.
Dijelaskannya, UU-PPLH menjamin penggunaan sumber daya alam secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Selain itu juga memberlakukan upaya preventif dengan cara mendayagunakan dan memaksimalkan instrumen pengawasan dan perizinan. Dengan demikian, kata Vincent, UU-PPLH menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kegiatan pembangunan di sekitar lingkungan. "Bahkan, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen dan konsisten terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi," kata Vincent.
Menyambut pengesahan UU-PPLH, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah menyampaikan terima kasih kepada DPR-RI yang telah berinisiatif membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.
Rachmat Witoelar mengaku, UU No.23/1997 sesungguhnya telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun efektifitas dalam pelaksanaannya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural.
Berbagai kekurangan di UU No. 23/ 1997 itu, kini telah diakomodasi dalam UU-PPLH, seperti kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian ini penting demi menjamin kepastian pembangunan berkelanjutan sebagai dasar serta terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
Penguatan Institusi Lingkungan
Hal mendasar yang membedakan UU-PPLH yang baru disahkan dengan undang-undang sebelumnya tercermin dalam penguatan fungsi, peran dan wewenang institusi lingkungan hidup dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup.
Beberapa aspek yang mendapat penguatan tersebut antara lain fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pengelolaan perijinan, serta kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Penguatan fungsi AMDAL bertujuan mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan. Sedangkan dalam hal perijinan, ditegaskan keharusan adanya "ijin lingkungan" sebagai prasyarat mendapatkan Ijin Usaha/Ijin kegiatan. Bahkan, Ijin Usaha/Ijin Kegiatan yang telah dikantongi pun menjadi batal demi hukum, bila Ijin Lingkungan dicabut.
Penerapan kewajiban ijin Lingkungan merupakan implementasi dari pengakuan akan eksistensi "hak veto lingkungan," di dalam pembangunan.
Penguatan Sistem Hukum
Aspek lain yang juga menonjol dalam UU-PPLH adalah penguatan sistem hukum lingkungan hidup yang memberikan ruang lebih leluasa bagi aparat penegak hukum. Di dalam UUPPLH disebutkan bahwa pejabat pengawas yang berwenang dapat menghentikan pelanggaran seketika di lapangan. Begitu pula Penyidik PNSKLH dapat menangkap dan menahan pelaku pelanggaran/kejahatan lingkungan, serta menyampaikan hasil penyidikan langsung kepada Kejaksaan dengan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.
Penguatan fungsi serta wewenang Penyidik PNS-KLH dalam penegakan hukum lingkungan dengan tegas diuraikan dalam Pasal 95 ayat (2) yang menyatakan:
" Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang:
a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup-,
b) melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c) meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e) melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f) melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h) menghentikan penyidikan;
i) memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual;
j) melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/ atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/ atau
k) menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Tindak tersebut tidak hanya kepada pelaku pelanggaran/kejahatan lingkungan, tapi juga pejabat publik yang memberi ijin lingkungan dan tidak melakukan pengawasan yang menyebabkan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan.
Penguatan wewenang Penyidik PNS-KLH disambut positif oleh berbagai kalangan, karena dinilai dapat jadi solusi terhadap maraknya kasus-kasus lingkungan dewasa ini. Dengan pemberian kewenangan kepada PPNS melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup diharapkan dapat mengatasi kendala yang dihadapi Kementerian Lingkungan Hidup yang selama ini sulit menindak pelaku pidana lingkungan hidup.
Akibatnya selama ini, tidak sedikit pelaku perusak lingkungan hidup yang bisa melenggang bebas karena PPNSKLH tidak memiliki kewenangan. Dengan pemberian wewenang yang semakin luas diharapkan PPNS-KLH bisa efektif bertindak meringkus pelaku pidana lingkungan yang merusak lingkungan hidup di Indonesia.
Kemajuan lain dalam UU-PPLH adalah penerapan sistem hukuman maksimun dan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan. Dengan penerapan sistem hukuman seperti ini, maka peluang lolosnya pelaku kejahatan lingkungan karena vonis "bebas murni" oleh pengadilan dapat dicegah.
Bisnis Ramah Lingkungan
Sehubungan dengan itu, Rachmat Witoelar meningatkan para pelaku bisnis agar lebih peduli lagi pada lingkungan hidup. " Perusahaan yang kegiatan bisnisnya merusak lingkungan dapat di pidana. Selain itu, izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dapat dicabut, dan Ijin Usaha itu jadi batal apabila izin lingkungan dicabut, dan pengawas di lapangan dapat menghentikan aktivitas seketika jika memang terbukti merusak dan mencemari lingkungan," tegas Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR.
Tapi bukan hanya pelaku bisnis, kata Rachmat Witoelar, pejabat nakal yang mudah mengumbar pemberian ijin lingkungan, juga dapat dtindak dan dikenai sanksi hukum.
Pada kesempatan berbeda, Rachmat Witoelar pernah menjelaskan bahwa adanya "Pasal Represif," bagi pelaku pencemaran dan perusak lingkungan hidup untuk menimbulkan efek jera dan untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Upaya ini memang harus dilakukan untuk memberikan jaminan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya sesuai pasal 28 H UUD 1945.
Namun, tentu tidak perlu ditakutkan, sebab yang penting harus berhati-hati dan pejabat publik mesti bertanggung jawab terhadap ijin pemanfaatan sumber daya alam yang dikeluarkan. "Ini, penting karena pemberian ijin tersebut bisa menjadi awal sumber kecurangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," kata Rachmat Witoelar.
Sebagaimana lazimnya, UU PPLH juga masih perlu aturan pelaksanaannya yang terdiri dari 19 Peraturan Pemerintah dan 18 Peraturan Menteri.
sumber : http://www.menlh.go.id/popup.php?cat=17&id=3904
DPR Sahkan UU Lingkungan Hidup
Setelah melalui beberapa kali persidangan, DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Rabu.
MENLH, Rachmat Witoelar saat menyampaikan pandangan mewakili pemerintah pada sidang paripurna pembahasan dan penetapan UU Lingkungan Hidup
Sebanyak sepuluh fraksi secara aklamasi menyetujui RUU PPLH menjadi UU PPLH sebagai pengganti UU Np.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada anggota DPR yang telah berinisiatif untuk membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.
"UU tersebut (UU No.23/1997) telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural," kata Rachmat seperti dilansir Antara.
Dia menyebutkan beberapa hal penting dari UU PPLH yang belum atau masih kurang dalam UU sebelumnya, antara lain kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
UU PPLH juga menyebutkan penguatan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.
Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.
Menutut Rachmat, dengan adanya UU PPLH yang baru ini akan memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.
Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.
"Selain hukuman maksimun, juga diperkenalkan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan," tambah Rachmat Witoelar.
sumber : http://www.beritalingkungan.com/berita/2009-09/uulh/
Mengenal Bahaya Kemasan Plastik dan Kresek
Kantung plastik kresek dan kemasan dari plastik lainnya merupakan alat pengemas yang paling banyak dipergunakan karena murah, praktis dan mudah didapat. Tetapi sayangnya kemasan plastik dan kantung plastik kresek ternyata tidak selalu aman, bahkan berbahaya bagi kesehatan. Beberapa jenis kemasan plastik berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan termasuk diantaranya kantung plastik “kresek” berwarna serta kemasan plastik berbahan dasar polistiren dan polivinil klorida (PVC). Juga berbagai kemasan dari plastik lainnya semisal botol plastik bekas minuman dan lainnya yang kita perlu mengenalnya.
Secara umum, kemasan plastik diberikan label-label sebagai berikut:
sumber : http://alamendah.wordpress.com/2009/07/17/mengenal-bahaya-kemasan-plastik-dan-kresek/
Mbok Darmi, tetangga saya, seorang janda yang dulunya berprofesi sebagai distributor utama daun pisang untuk pembungkus untuk hampir seluruh pedagang di pasar tradisional dekat desa gulung tikar. Padahal usahanya ini dulu mampu menghidupi keluarganya hingga kedua anaknya lulus SMA.
Mbok Darmi kalah bersaing dengan kantung plastik kresek berwarna yang dibuat dari plastik bekas dengan riwayat penggunaannya yang tidak jelas serta melalui proses daur ulang yang tidak terjamin kebersihannya. Bisa saja plastik tersebut berasal dari bekas wadah limbah berbahaya. Bahkan proses daur ulangnyapun menggunakan bahan kimia tertentu yang bisa membahayakan kesehatan. “Pantas saya kalah bersaing, Lha wong dia gak fair play,” ujar Mbok Darmi sambil mecucu.
Meskipun selama ini belum pernah ada pengaduan atau keluhan mengenai gangguan kesehatan akibat penggunaan kantung “kresek” sebagai wadah makanan, namun kita perlu berhati-hati. Kalau mau mewadahi makanan siap santap dengan plastik kresek sebaiknya dilapisi dulu dengan bahan yang aman seperti daun atau kertas.
Selain plastik kresek, kemasan plastik berbahan polivinil klorida (PVC) dan kemasan makanan “styrofoam” juga berisiko melepaskan bahan kimia yang bisa membahayakan kesehatan. Monomer styrene yang tidak ikut bereaksi dapat terlepas bila bereaksi dengan makanan yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol dalam keadaan panas. Meskipun bila residunya kecil tidak berbahaya.
Secara umum, kemasan plastik diberikan label-label sebagai berikut:
1. PETE atau PET (polyethylene terephthalate) dengan berlabel angka 01 dalam segitiga biasa dipakai untuk botol plastik yang jernih/transparan/tembus pandang seperti botol air mineral. Botol-botol dengan bahan ini direkomendasikan hanya untuk sekali pakai. Jangan dipakai untuk menyimpan air hangat apalagi panas.
2. HDPE (high density polyethylene) berlabel angka 02 dalam segitiga biasa dipakai untuk botol susu yang berwarna putih susu. Direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian.
3. V atau PVC (polyvinyl chloride) berlabel angka 03 dalam segitiga adalah plastik yang paling sulit di daur ulang. Plastik ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (cling wrap), dan botol-botol. Kandungan dari PVC yaitu DEHA yang terdapat pada plastik pembungkus dapat bocor dan masuk ke makanan berminyak bila dipanaskan. PVC berpotensi berbahaya untuk ginjal, hati dan berat badan.
4. LDPE (low density polyethylene) berlabel angka 04 dalam segitiga biasa dipakai untuk tempat makanan dan botol-botol yang lembek. Barang-barang dengan berkode ini dapat di daur ulang dan baik untuk barang-barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat. Barang ini bisa dibilang tidak dapat di hancurkan tetapi tetap baik untuk tempat makanan.
5. PP (polypropylene) berlabel angka 05 dalam segitiga adalah pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi. Karakteristik botol ini transparan yang tidak jernih atau berawan.
6. PS (polystyrene) berlabel angka 06 dalam segitiga biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum sekali pakai, dll. Bahan Polystyrene bisa membocorkan bahan styrine ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan Styrine berbahaya untuk otak dan sistem syaraf. Bahan ini harus dihindari dan banyak negara bagian di Amerika sudah melarang pemakaian tempat makanan berbahan styrofoam termasuk negara China.
7. Other (biasanya polycarbonate) berlabel angka 07 dalam segitiga bisa didapatkan di tempat makanan dan minuman seperti botol minum olahraga. Polycarbonate bisa mengeluarkan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang berpotensi merusak sistem hormon.
Kemasan plastik yang paling banyak dan paling aman digunakan adalah yang terbuat dari polyethylene (PE) dan polyprophylene (PP) yang dilabeli terkadang juga dilabeli dengan gambar gelas dan garpu atau ada tulisan `untuk makanan` atau `for food use`.
Sayangnya masih banyak barang plastik yang tidak mencantumkan simbol-simbol ini, terutama barang plastik buatan lokal. Pemerintah Indonesia sendiri baru berencana untuk mewajibkan produsen kemasan makanan melakukan penandaaan atau memberi label. Rencana ini mulai diterapkan bulan November mendatang.
Oleh karena itu, kalau anda ragu lebih baik tidak menggunakannya. Atau menyuruh Mbok Darmi untuk memulai kembali usahanya sebagai distrubutor daun pisang. Serta tinggalin kebiasaan teman saya yang biasa menggunakan botol bekas minuman mineral sebagai tempat air ketika muncak. Bahkan untuk menggodok kopi !
sumber : http://alamendah.wordpress.com/2009/07/17/mengenal-bahaya-kemasan-plastik-dan-kresek/
Langganan:
Postingan (Atom)